Indonesia akan tampil untuk kedua kalinya di La Biennnale Architettura di Venezia. Setelah mengirimkan wakil di tahun 2014 lalu, tahun depan Indonesia akan kembali dengan mengusung konsep yang lebih kontemporer.
Melalui seleksi yang dilakukan oleh Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) bekerjasama dengan Ikatan Arsitektur Indonesia (IAI) telah terpilih enam kurator seni dengan konsep berjudul Sunyata: The Poetics of Emptiness yang akan mewakili Indonesia pada 25 Mei hingga 26 November mendatang.
“Kami memilih mereka karena narasinya sudah sesuai dengan kurator di sana. Menurut juri, Sunyata adalah karya yang paling kuat untuk menunjukkan arsitektur kontemporer Indonesia,” ujar Wakil Kepala Bekraf Ricky Joseph Pesik yang juga merupakan Ketua Komisioner Tim Paviliun Indonesia di La Biennale Architettura Venezia 2018.
Sementara itu menurut Deputi IV Bidang Pemasaran Bekraf Joshua Puji Mulia Simandjuntak tim kurator seni yang terpilih ini didominasi oleh para arsitek muda. “Artinya, subsektor ini sedang menikmati bonus demografi dengan harapan para arsitek muda bisa sejajar dengan arsitek dunia,” ujarnya.
Adapun enam kurator seni yang telah terpilih yaitu Ary Indra, David Hutama, Dimas Satria, Jonathan Aditya, Ardy Hartono dan Johanes Adika. Para delegasi ini dipilih berdasarkan hasil kurasi dalam dua tahap, yaitu tahap pertama dilakukan pada tanggal 9 Oktober 2017 dan tahap kedua pada tanggal 15 Oktober 2017 yang berlangsung di Jakarta.
Dari 70 proposal, proses kurasi menghasilkan 5 proposal yang masuk dalam proses penjurian. Sedangkan dalam tahap kedua setiap tim diberikan waktu untuk mempresentasikan karya mereka dihadapan para juri yang terdiri dari Jay Subyakto, Goenawan Mohamad, Gunawan Tjahjono, Budi Lim dan Ahmad Tardiyana.
Menurut Ary Indra selaku Ketua Tim Kurator yang telah terpilih, melalui Sunyata tim kurator ingin menampilkan Indonesia dalam nafas yang lebih kontemporer, “manusia akan disadarkan dengan ruang kosong yang sering dilupakan. Membiarkan manusia untuk menaklukkan kekosongan. Kita ingin orang datang melihat karya kita dan merenung akan kesunyian,” ujarnya.
Nantinya, karya ini akan menggunakan kertas sebagai material utama dan paviliun Indonesia merupakan abstraksi dari konsep kekosongan yang memiliki beragam wujud dan rupa di arsitektur Indonesia.
Bekraf bekerjasama dengan Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) akan mewujudkan karya arsitektur dalam event tersebut dengan menunjuk Komisioner Venice Biennale Architecture 2018 yang terdiri dari Ricky Joseph Pesik (Wakil Kepala Bekraf) sebagai Ketua Komisioner dan Ahmad Djuhara (Ketua Ikatan Arsitek Indonesia) sebagai Anggota Komisioner.
Sementara itu untuk pemilihan kurator yang akan mewakili Indonesia di La Biennale Architettura telah terpilih enam nama berdasarkan hasil kurasi dalam 2 tahap, yaitu tahap 1 dilakukan pada tanggal 9 Oktober 2017 dan tahap 2 tanggal 15 Oktober 2017 yang berlangsung di Jakarta.
Dalam tahap 1 didapatkan 5 proposal yang masuk dalam proses penjurian. Sedangkan dalam tahap 2 setiap tim diberikan waktu untuk mempresentasikan karya mereka dihadapan para juri yang terdiri dari Jay Subyakto, Goenawan Mohamad, Gunawan Tjahjono, Budi Lim dan Ahmad Tardiyana.
Hingga akhirnya terpilih karya Sunyata dengan enam orang kurator art yaitu Ary Indra, David Hutama, Dimas Satria, Jonathan Aditya, Ardy Hartono dan Johanes Adika yang akan mewakili Indonesia di La Biennale Architettura 2018 di Venesia.
Paviliun Indonesia dalam La Biennale Architettura Venezia 2018 tahun depan akan menampilkan Sunyata: The Poetics of Emptiness sebagai interpretasi dari tema FreeSpace yang telah ditentukan oleh kurator utama Yvonne Farrel dan Shelley McNamara dari Grafton Architects, Irlandia.
Menginjak tahun penyelenggaraan yang ke-16, duet kurator ini menyiratkan keinginan untuk mengembalikan arsitektur pada kualitas ruang, dan meletakkan semangat kemanusiaan serta keinginan untuk berbagi di dalamnya. Tema FreeSpace ingin membuka kemungkinan lain akan potensi yang dapat ditemukan pada ingatan dan harapan manusia sebagai elemen utama dalam arsitektur. Hal mendasar yang makin terkikis belakangan oleh dominasi wujud dan kecanggihan teknologi konstruksi dan material.
Tahun 2018 menjadi kali ke-2 Indonesia berpartisipasi dalam ajang eksposisi arsitektur bergengsi ini. Tim kurator Paviliun Indonesia yang terdiri dari Ary Indra, David Hutama, Dimas Satria, Jonathan Aditya, Ardy Hartono dan Johanes Adika, ingin menampilkan Indonesia dalam nafas yang lebih kontemporer, di luar bentuk dan ornamen tradisional yang selama ini dikenal oleh dunia. Menggunakan kertas sebagai material utama, Paviliun Indonesia merupakan abstraksi dari konsep kekosongan yang memiliki beragam wujud dan rupa di arsitektur Indonesia.
Berkeinginan untuk memberi wacana baru pada perbincangan arsitektur yang biasanya didominasi oleh aspek visual, paviliun ini hendak membebaskan tirani bentuk dan rupa bagi manusia yang mengalaminya. Seperti sebuah wadah kosong, manusia akan menjadi pemeran utama di dalamnya. Perangkat yang biasa digunakan oleh manusia untuk memaknai ruang ditiadakan. Sebagai ganti, tubuh dan panca indera menjadi perangkat utama dalam mengubah, menggubah, dan menguasai ruang.
Konsep kekosongan sering dijumpai pada arsitektur Indonesia. Layangkan sejenak ingatan pada gubahan Taman Sari di Yogyakarta atau tatanan rumah Jawa dengan Joglo yang menjadi ‘pusat ‘ bagi sekitarnya. Contoh-contoh ruang kosong yang tidak sekedar kebetulan, tetapi sengaja diciptakan dan menjadi generator bagi aktivitas sekitar, hampir bisa ditemukan di mana mana.
Walau memiliki wujud dan rupa yang beragam di berbagai arsitektur etnik dan modern Indonesia, kekosongan ini sesungguhnya memiliki makna serupa. Ruang aktif, yang mengundang kemungkinan intervensi dalam bentuk aktifitas dari manusia di sekitarnya. ‘Sebuah antara’, pemberi jeda pada runtutan kegiatan pemakainya. Ruang-ruang yang menjadi ‘sebab’, dan bukan ‘akibat’ dari arsitektur yang melingkupinya.
Tidak sekedar menjadi papan iklan budaya arsitektur Indonesia, paviliun dan konsep kekosongan yang diangkat justru ingin memprovokasi arah baru pemikiran arsitektur Indonesia yang berangkat dari nilai nilai yang sudah lama dipraktekkan. Paviliun Indonesia dalam La Biennale Architettura Venezia 2018, menyasar peluang baru untuk memahami kekayaan arsitektur Indonesia bagi kemajuan ilmu dan praktik arsitektur di masa depan.